Senin, 29 Oktober 2012

Fish and Chips - makanan khas Inggris


Photobucket
“FISH and Chips…,” si Jason menjawab tanpa berani menatap saat dulu
saya tanya makanan khas Inggris.
“What?” saya pura-pura kaget, dan si Jason rupanya melihat adanya
maksud ledekan melalui kerutan mata saya. Memang betul saya ingin
meledek. Makanan khas yang konon bisa menjadi ciri budaya suatu bangsa,
kok simple banget.
“Ya…ah…that’s it.” Begitulah mungkin maksud si Jason. Dia yang
lahir dan besar sebagai orang Inggris tampaknya menyesal kenapa British
tidak sekreatif bangsa-bangsa lain yang memiliki ratusan makanan khas
dengan ribuan rasa yang bisa dibanggakan.
Fish and Chips tentu saja bukan makanan luar biasa, mengolahnya juga
pasti tidak perlu keahlian khusus, tidak perlu rahasia bumbu khusus
seperti bikin lotek Bandung, gudeg Yogya, rendang Padang, rawon Jawa
Timur, lumpia Semarang, sop kaki Betawi, nasi goreng dan ribuan makanan
khas Indonesia lainnya.
Fish and Chips makanan khas Inggris tak lebih dari goreng kentang dan
goreng ikan dibalut tepung tawar. Kalaupun ada yang luar biasa atau
aneh karena Fish and Chips disajikan tanpa bumbu apapun. Lidah kita
yang penuh cita-rasa tentu saja serasa berada di ruang hampa. Serasa
dingin biar pun kentang dan ikan panasnya minta ampun.
Berlainan dengan goreng ikan mas atau gurame atau bahkan ikan nila yang
sekali pun tanpa bumbu selalu harum dan terasa lezat, goreng ikan cod
rasanya tawar-tawar saja, juga haddock yang serat dagingnya berbeda,
aroma dan rasanya hanya samar-samar.
Kalaupun ada bumbu yang selalu pelayan tawarkan, bumbu itu hanya cuka.
Makanya, supaya bisa rada lancar makan, saya selalu memastikan untuk
sengaja minta saos tomat dan garam dan wanti-wanti jangan pake vinegar.
Seperti umumnya porsi makanan di sini yang serba jibeuh, Fish & Chips
juga jibeuh. Daging ikan laut cod atau haddock warna putih sebesar
telapak tangan dengan chips potongan kentang yang menggunung hanya
sanggup terlahap setengahnya. Sisanya terpaksalah dibagi-bagi untuk
burung merpati dan camar yang selalu merubung setiap kali kita
menikmati makanan di bangku taman.
Chips Ahoi nama warung Fish & Chips di Victoria Road. Namanya asing
berbau oriental, juga mungkin pemiliknya oriental tapi mulai tukang
masak, pelayan sampai tukang sapunya semua asli lokal islander
Englisman. Setiap petang selalu penuh antrean orang yang membeli
makanan pokok “ikan dan kentang” sebagai makan malam.
Restoran  yang lain adalah tandori-nya orang India yang menyediakan
ayam tika masala. Kalau yang punya orang Pakistan atau Bangladesh,
namanya menjadi tandori halal balti. Restoran Thailand juga cukup
banyak disukai orang Inggris. Tapi semua restoran ini hanya
dipergunakan untuk “dinner”, makan malam sungguhan, makan malam yang
punya alasan. Berbeda dengan Fish & Chips warung makan-nya British yang
selalu didatangi tiap hari mulai breakfast, lunch sampai supper.
Kuping saya selalu susah menangkap aksen bicara pelayan di sini. Dulu
saat pertamakali mencoba beli Fish & Chips, sekalipun tidak jelas
terdengar tapi saya jawab saja  Yes thank you. Dan lunch di kursi taman
saat kentang dicicipi, langsung saja lidah dan bibir saya mengkeret
karena rupanya seluruh kentang telah basah kuyup oleh vinegar. Vinegar
pengganti cuka yang umumnya di sini terbuat melalui fermentasi buah
apel.
Rupanya tadi yang dibilang Barbara si pelayan Woulf you like vinegar.
Tapi saya kira dia menawarkan air minum, memang jauh artinya. Akhirnya
saya ikhlas saja meneruskan lunch dengan mata dan mulut
dikerut-kerutkan.
Saya rada hapal aroma vinegar karena sama dengan cuka apel. Dulu teman
saya di Bandung pernah bilang, katanya cuka apel obat asam urat. Saya
pernah mencobanya tapi dengan banyak campuran madu. Kalau cerita
khasiat cuka apel ini benar, maka mungkin karena itu pula orang Inggris
tidak ada yang mengeluh asam urat.
Orang Inggris tampaknya juga takut segala macam “zat-kimia” termasuk
asam asetat atau cuka di Indonesia, juga meminimalkan konsumsi natrium
Chloride alias garam dapur dan gula. Ini juga tampak dari iklan-iklan
makanan disini yang menggembar-gemborkan bahwa makanan ini rendah
kandungan garam, bebas gula dan tentu saja rendah lemak.
Mungkin orang Inggris menganut prinsip “tidak semua makanan harus
dimakan”, kecuali makanan yang jelas asal muasalnya. Harus ada
kepastian kandungan bahan makanannya. Atau bisa juga ada yang menjamin
kejelasan pembuatnya. Karena itu, istilah Home Made Cake biasanya lebih
laku untuk dibagi-bagi sebagai kue perayaan apapun.
Home made boleh jadi lebih tepat diartikan makanan ini dibuat dengan
sepengetahuan saya. Atau juga boleh diartikan, makanan ini dibuat
dengan penuh perasaan cinta.Karena seperti kemarin teman kerja saya
Edgar ulang tahun, bawa kue-kue yang katanya My beloved wife made, maka
di luar kebiasaan antre, kali ini teman-teman satu grup pada berebut.
Penuh canda dan penuh pujian Nice cake, lovely cake sampai brilliant
cake. Semua kemeriahan dan pujian tentu saja untuk my beloved wife made
alias home-made.
Lain pula ceritanya, ketika si John, manajer saya dapat bingkisan besar
kue-kue dari teman yang baru pulang dari India. Dia seperti biasa kalau
punya makanan suka bagi-bagi. Kali ini pun juga sama, dia tumpuk
kotak-kotak warna-warni yang tampaknya berisi kue-kue lezat di meja
rapat. Lalu orang-orang pada berdatangan. Tapi hanya bergerombol
menonton tumpukan kue. Kemudian bubar meninggalkan kue-kue tetap utuh.
Saya sempat nguping beberapa komentar, “Fabricated cake,” katanya
sambil membaca nama pabrik dalam kemasan kue. Dan sepertinya karena
tidak kenal nama pabriknya maka mereka tidak ada yang berani makan kue.
Saya ingat, dulu kakek saya pernah bilang katanya hati-hati dengan
perut kamu, jangan mengisinya dengan sembarang makanan, apalagi diisi
dengan rejeki yang tidak halal. Saya tidak tahu apakah orang Inggris
tahu halal-haram. Tapi yang pasti orang Inggris tidak sembarangan
memasukkan apapun ke dalam perut.
Pemerintah Inggris juga menyayangi perut warganya dengan menerapkan
aturan ketat pengawasan dan sertifikasi makanan.
Soal asam-asaman, hampir segala makanan di sini cenderung asam.
Terutama buah-buahan seperti jeruk mangga, anggur, apel lebih banyak
asamnya daripada manis. Sampai pisang pun terkadang rada-rada kecut.
Buah-buahan yang manis yang biasanya matang justru dijual lebih murah.
Beli satu gratis satu, buy-one-get-one-free, malah kadang dapat tiga.
Saya beruntung karena lebih doyan buah yang manis dan kebetulan lebih
murah.
Saya tidak tahu, apakah rasa asam itu berkorelasi dengan segar dan
alami. Tapi yang jelas, harga sayuran segar di sini selalu labih mahal
daripada makanan olahan atau kalengan. Padahal di Bandung, sayuran
segar ini sering jadi lalaban gratis di restoran-restoran.
Di sini makanan cukup berlimpah, tapi hampir semua bahan makanan hasil
pertanian merupakan produk impor dari berbagai negara. Buah-buahan
segar terutama datang dari Spanyol, Prancis dan Brasil. Beras murah
dari Amerika dan beras yang sedikit lebih mahal tapi enak datang dari
Thailand.
Hanya sayang, di supermarket dan toko umum di sini tidak terlalu mudah
menemukan bahan makanan yang ada tulisan made-in Indonesia. Kita harus
sengaja berburu ke toko Cina yang berada di lain kota. Mi instan, saos
cabe dan kecap buatan pabrik di Jakarta biasanya selalu tersedia di
toko Cina. Kadang kalau beruntung, kita juga bisa menemukan krupuk
udang Sidoarjo, made-in Indonesia.
Kebanyakan bumbu-bumbu khas Nusantara di sini ternyata jelas tertulis
made-in Holland pada kemasannya. Padahal, kalau saya perhatikan,
bungkus kemasannya biasa-biasa saja. Juga bumbu di dalamnya seperti
merica, ketumbar, tumeric, ginger masih beraroma utuh, aroma Indonesia.
Kalau pun ada pengolahan paling-paling hanya digerus lembut. Sepertinya
akan lebih pantas kalau tertulis made in Indonesia dan digerus oleh
Holland.
Belakangan saya mulai learning by doing, hasil bumi Nusantara pastilah
sangat banyak berkeliaran di tanah Britania. Cuma saja mungkin untuk
mencantumkan made-in Indonesia” pada kemasan bumbu dapur atau makanan
yang akan masuk perut orang Inggris, kita  perlu keberanian lebih.
Keberanian untuk menjamin bahwa bumbu atau makanan yang kita jual
adalah makanan yang telah kita olah dengan penuh perasaan dan
kesungguhan pikiran.
Boleh jadi, kalau kita ingin bumbu atau bahan makanan made-in Indonesia
laku dan disukai  orang Inggris, kita harus membuat bumbu atau bahan
makanan seperti Home Made. Kita harus seperti seorang ibu yang memasak
makanan untuk anak-anaknya tercinta. Atau seperti istrinya si Edgar
yang bikin kue ulang tahun karena dia menyayangi si Edgar.
Orang Inggris sepertinya menganggap bahwa setiap makanan memiliki
pawang, memiliki tuan atau master. Dan yang paham betul kelakuan
makanan tentulah si pawang. Pawangnya ini adalah si pemasak dan juga
yang menyediakan bahan makanan. Kalau makanan yang tidak jelas
pawangnya keburu masuk perut, lalu makanan itu berbuat macam-macam di
dalam perut kita, terus harus mau kemana kita mencari pawang yang bisa
menaklukkan makanan yang mengamuk dalam perut?
Fish and Chips, bisa dianggap sebagai makanan khas sekaligus makanan
pokok. Sekadar makanan yang sangat sederhana tanpa bumbu apapun. Bahan
dan cara membuatnya sangat mudah dikenali. Makanan ini tidak menawarkan
kemeriahan rasa, tapi juga tidak mengundang rasa curiga. Boleh jadi,
Fish & Chips hanya menyediakan gizi yang dibutuhkan, dan rasa kenyang
tentu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar